Minggu, 28 Oktober 2012

Operasi Jari Bengkok


             Sabtu siang yang biasanya membawa keceriaan bagi sebagian masyarakat di kota Medan, tampaknya mengisahkan sesuatu yang berbeda. Hujan rintik - rintik disusul dengan angin yang bertiup sangat kencang. Selesai try - out saya memilih untuk bersantai sejenak di kelas. Menyalakan laptop sambil melanjutkan potongan kata demi kata untuk novel saya, sambil memanfaatkan wi-fi kelas yang sedikit menghibur saya membuka jejaring sosial.
            Jam dinding kelas menunjukkan pukul 2 siang. Tak satu pun teman yang berada di kelas. Hanya saya, saya sendiri. Merasa mata terlalu jenuh menatap layar laptop, saya pun berhenti untuk melanjutkan novel saya yang sudah memasuki bab yang ke V. Menyusun semua barang - barang ke dalam ransel. Memastikan bahwa tak ada satu pun yang tertinggal, saya melihat kembali ke sekeliling kelas dan berbalik. Lalu meninggalkan kelas.
            Sampai di depan gerbang sekolah, saya bukannya langsung beranjak pulang. Melainkan singgah sebentar membeli sedikit jajanan untuk dibawa pulang ke rumah. Seperti ada sesuatu yang membisikkan kepada saya untuk membeli ‘pisang cokelat’. Ya, saya membelinya semata - mata teringat dengan ibu dan adik yang sangat suka jajanan itu. Selesai membeli, saya pun belum beranjak. Masih terduduk sendirian di halte sekolah seperti anak kehilangan arah. Hanya sendirian. Sepertinya menunggu rintik hujan berhenti hanyalah usaha sia - sia. Tampaknya hujan tak akan reda. Melihat jam tangan sudah menunjukkan pukul setengah 3, saya pun bergegas menyetop angkutan yang melewati arah rumah saya.
            Sesampainya di depan komplek, saya berpikir keras untuk menerobos hujan yang semakin deras jadinya. Saya berteduh di sebuah ruko yang tak berpenghuni. Mengambil ponsel. Sialnya saya kehabisan pulsa untuk menghubungi ibu agar menjemput saya sambil membawakan payung. Gelisah melanda karena saya sudah mulai menggigil. Seperti ada keterikatan bathin yang teramat kuat, ibu saya pun menghubungi saya.
            “Bu… Indi kehujanan. Takut nerobosnya soalnya deras nih.” Saya merengek agar dijemput.
            “Yaudah tunggu aja ya, ntar Nia yang jemput. Tunggu aja disitu…” Ibu pun menutup telepon.
            Nia, adik saya yang berusia 12 tahun. Selama hidup saya, saya kurang akrab dengan Nia. Kesannya saya seperti kakak yang paling jahat sedunia. Belasan tahun dia hidup bersama saya, tak pernah sekalipun saya berkelakuan baik kepadanya. Paling juga kalau ada perlu. Tapi Nia tidak pernah ambil hati melihat sikap saya terhadapnya. Paling dia hanya menggerutu, “percuma punya kakak kalo gak bisa diandalkan.” ; “Kakak macam apasih kau?” ; “Aku gak mau diajarin sama mbak, dia orangnya kasar” dan masih banyak lagi. Tapi setelah itu dia kembali seperti sedia kala, seperti tidak terbebani memiliki seorang kakak seperti saya.
            20 menit saya menunggu di depan komplek, tapi Nia tak kunjung datang. Hingga saya melihat sosoknya berjalan tertatih mengenakan payung sambil memegangi perutnya. Jalannya sangat lambat, seperti menahan sakit. Saya langsung melambaikan tangan, memberi kode agar dia berjalan lebih cepat. Tapi dia hanya meringis kesakitan dan tetap memegangi perutnya. Akhirnya saya yang mendatanginya.
            “Perutnya kenapa? Masih sakit?” Saya bertanya sambil mengambil alih payung yang digenggamnya.
            “Sakit, mbak… Mbak, jalannya pelan - pelan aja ya. Gabisa jalan cepat - cepat.” Nia menggenggam lengan saya.
            “Yaudah, pegangan aja sama mbak.”
            Kami berdua jalan memasuki komplek dengan sangat tertatih. Kalau saja saya tidak membawa ransel, dan Nia pun masih TK, mungkin saya akan menggendongnya. Jujur saya tidak tega melihat Nia kesakitan seperti itu. Sekarang saya tahu kenapa Nia sangat lama menjemput saya. Ternyata dia berjalan sambil berusaha menahan sakitnya demi menjemput saya. Itu kali pertamanya momen yang paling menyentuh selama ini. Nia rela berjalan menempuh hujan dengan kondisi perut yang tidak tahu apa penyebabnya hingga membuatnya merasa sangat kesakitan.
            Di teras rumah, ibu sudah menunggu saya dengan pakaian layaknya orang mau pergi. Saya mengerutkan kening. Nia pun terduduk di kursi yang berada di belakang saya. Sontak saya pun terduduk karena merasa lelah. Dan kini kami bertiga sama - sama duduk di kursi yang berbeda. Wajah ibu tampak sangat serius, dicampur perasaan sedih lebih tepatnya.
            “Ibu mau ke mana?” Saya mencoba bertanya.
            “Mau bawa Nia ke rumah sakit.” Ibu menatap Nia. “Kayanya ada yang gak beres sama perutnya. Harus diperiksa secepatnya, takut ada apa - apa yang bisa makin tambah parah…” Ibu menghela napas, napas yang terasa sangat berat.
            Saya mengangguk - angguk. “Oh…” Panjang dengan ekspresi cemas. “Jam berapa pulang?”
            “Ya kalu bisa cepat, ya secepatnya.” Ibu beranjak dari duduknya. “Nanti kalau ayah udah pulang, bilang jemput ibu sama Nia ke rumah sakit ya.”
            Saya mengangguk untuk kedua kalinya. “Hati - hati ya, bu.”
            Mereka pun pergi ketika taxi berhenti tepat di depan rumah.
            Jam menunjuk ke angka 7. Ya, sekarang jam 7 malam. Tak ada kabar dari ibu. Dan ayahpun belum pulang. Lagi, saya sendirian di rumah. Hanya berkutat dengan laptop yang sedari tadi menemani saya menghilangkan kejenuhan. Ponsel saya berdering. Melihat nama di layar, Ayah. Ayah memberitahukan kepada saya bahwa Nia harus diopname. Nia positif terkena usus buntu. Mendengar penjelasan ayah, mulut saya ternganga tak tertutup. Dan akhirnya tertutup ketika ayah meminta saya agar menjaga rumah yang sebenarnya rumah ini tidak akan lari ke mana - mana.
*
            Minggu pagi setelah saya selesai berberes, saya langsung menuju ke rumah sakit tempat Nia diopname. Tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya satu penghalang untuk menuju ke sana, macet. Sepanjang jalan hanya wajah Nia yang melintas di pikiran saya. Mendadak saya seperti seorang yang paling hancur mendengar Nia harus dioperasi. Yang Nia sendiri sangat takut dengan alat - alat medis. Tak hentinya saya berharap semoga tidak terjadi apa - apa dengan Nia.
            Sesampainya di rumah sakit, saya menuju ruangan melati VI lantai 3. Ruangan di mana Nia diopname. Setelah mendapatkannya, saya melihat ibu yang sedang bercengkrama dengan om saya. Ternyata sudah mulai ramai di kamar inap Nia. Sesekali ibu menyuapkan bubur kepada Nia. Melihat kedatangan saya, Nia langsung duduk dari pembaringannya. Seperti anak kecil yang mendapatkan petasan, Nia pun bersorak “HOREEEE!!! MBAK DATAAANG!!!” Dia sangat bahagia melihat kedatangan saya. Seketika saya ingin menangis. Saya pun mendekatinya.
            “Gimana?” Saya duduk di sebelah tempat tidurnya.
            “Operasinya besok, mbak. Mbak di sini kan?”
            “Tergantung…” Seakan tak ingin mengecewakan Nia. “Besok kan mbak pulang jam 5 sore. Kalo operasinya sore ya pastilah mbak datang.”
            “Siiip. Ga datang juga gapapa kok.”
            Tiba - tiba mata saya tertuju kepada teman sekamarnya Nia, namanya Mika. Terlihat segar - segar saja, tidak ada penyakit yang serius. Tapi ketika saya melihat ke jarinya, ada sesuatu yang janggal. Jari telunjuk kanannya bengkok. Setelah ibu menceritakan kepada saya, ternyata jarinya seperti itu karena digigit ulat bulu. Bagaimana bisa ulat bulu menyebabkan jari Mika bengkok? Lalu untuk apa dia di sini kalau hanya jarinya saja yang bengkok? Jawaban yang pertama saya masih bisa menjawabnya sendiri. Mungkin, ketika digigit Mika tidak membersihkan jarinya dengan antiseptic atau air hangat sekalipun. Hingga jarinya seperti itu. Namun pertanyaan kedua, ibu yang menjawab. Kata orang tua Mika, dia sedang kuliah di Akbid. Dan salah satu persyaratannya adalah tidak boleh cacat fisik, makanya jari Mika harus dioperasi.
            Saya menatap Mika. Mika pun tersenyum ke saya. Saya mendekati Mika. “Kakak kuliah di akbid?”
            “Iya…” Jawabnya sambil tersenyum.
            Saya mengangguk - angguk. “Terus, kakak kapan operasinya?”
            “Sepertinya besok. Sama seperti Nia.”
*
            Hari ini hari di mana Nia harus dioperasi. Seperti biasa, setiap hari Senin saya pulang jam 5 sore. Bergegas saya langsung keluar kelas dan menuju parkiran. Dan saya teringat bahwa hari ini saya tidak akan pulang bersama adik kelas yang setiap hari mengantar saya. Saya pun beralih ke arah halte. Menunggu segelintir angkutan umum yang berlalu-lalang di hadapan saya. Sejenak saya terpaku. Tidak tahu harus menaiki angkutan nomer berapa untuk menuju Jalan Kapten Soemarsono. Saya memutuskan menyetop becak.
            Sesampainya di rumah sakit saya berlari menaiki anak tangga yang lumayan curam. Saya tiba di depan pintu kamar Nia. Tubuh saya bergetar menatap pintu yang tertutup rapat. Tak kuasa menyentuh handle pintu. Entah kenapa. Tiba - tiba terdengar langkah kaki yang tidak asing di telinga saya. Ayah.
            “Kenapa berdiam di sini? Ayo masuk. Adikmu sudah menunggu daritadi.”
            Saya menatap ayah. “Menunggu? Jadi dia belum…”
            “Setengah jam lagi.” Sambar ayah sembari mengajak saya masuk ke dalam.
            Benar saja. Di dalam malah semakin ramai. Ada nenek, bunda, dan teman - teman adik saya tengah menjenguk. Saya meletakkan tas. Sedikit lega karena mengetahui bahwa Nia belum dioperasi. Sambil melumerkan senyum ke sekeliling ruangan saya menyapa Nia yang tengah terbaring menunggu giliran operasi.
            Mata saya pun langsung tertuju ke arah di mana terdengar suara rintihan karena menahan sakit. Ya, Mika barusan selesai operasi jarinya yang bengkok. Saya mencoba mendekat. Saya penasaran dengan jarinya. Dan memang sekarang jari Mika sudah lurus. Tidak bengkok lagi. Bekas darah pun terlihat di sekeliling jempol dan telapak tangannya. Hanya bercak saja. Ayah Mika bercengkrama dengan ayah saya. Memberi tahu bahwa jari Mika telah dipasang pen. Satu yang tidak bisa saya bayangkan, ketika saya berada di posisi Mika. Yang saya tahu, rasanya pasti sangat sakit. Lebih sakit dibandingkan waktu paha saya dijahit karena terkena paku.
~Sekian~