Sore itu,
aku tidak sabar menunggu mata kuliah ditutup. Karena ada orang yang telah
berjanji untuk menemuiku, kamu.
Seusai
perkuliahan, aku bergegas keluar kelas dan menuruni anak tangga. Kudapati kamu
sedang berjalan menuju tempat yang kita janjikan. Kupanggil namamu, dan kau pun
menoleh ke belakang sambil melambaikan tangan.
Aku berlari
kecil menghampirimu yang tampaknya baik-baik saja, tidak seperti aku yang
berada pada titik kebimbangan atas perasaanku terhadapmu dan perasaanku
untuknya.
“Kita mau
ke mana?” tanya mu dengan suara khas yang selalu menggetarkan rongga hati ini,
memulai pembicaraan.
“Bebas…”
jawabku dengan senyum pahit bercampurkan getaran bersalah.
Lalu kita
memilih tempat yang pernah kita kunjungi.
Kamu duduk
tepat dihadapanku, kesalahan yang sampai detik ini tak bisa kumaafkan. Karena
aku tak kuasa menyembunyikan besarnya gelombang cinta yang kerap kali terpancar
di wajahku ketika kau tersenyum.
“Kamu apa
kabar? Sudah lama kita tidak seperti ini, sepertinya kamu sibuk.” Kamu
mendekatkan wajahmu ke depan.
Aku…. Hanya
bisa mencari-cari alasan yang tepat, menerawang ke langit-langit café untuk
menjawab pertanyaan sederhana itu, “aku baik. Bukannya selama ini kamu yang
tidak pernah ada waktu untukku?”
“Aku….”
“Kamu
terlalu sibuk dengan organisasi mu yang baru itu, kan?”
“Itu semua
demi melupakan mantanku…”
Aku bahkan
sudah bisa menebak jawaban apa yang akan kau muntahkan. Aku menarik napas
panjang untuk memulai semuanya, memulai cerita yang belum saja kumulai, namun
berakhir di saat itu juga, “aku mau cerita banyak ke kamu, ini soal…”
“….. jangan
bilang ini tentang laki-laki. Laki-laki mana lagi yang singgah di hidupmu, lalu
pergi tanpa pamit?”
“Hmm
sebenarnya…”
“–––
sebenarnya aku malas untuk membahas soal perasaan lagi. Aku capek dengan semua
aturan-aturan saat menjalin hubungan. Aku muak dengan ketidak-bebasan bersosial
ketika berpacaran. Aku capek terlalu dikekang sama pacarku.”
“AKU BELUM
SELESAI NGOMONG!” medadak nada bicaraku meninggi.
“Maaf…”
Kuteguk chocolate
hangat yang sedari tadi tak kusentuh, berusaha mencari kekuatan untuk
melanjutkan. “Aku sedang dekat dengan seorang cowo. Tapi dia lebih muda dari
aku. Awalnya aku cuma iseng dekatin dia, tapi makin lama makin ke sini aku
malah…”
“KAMU YANG
JATUH HATI SAMA DIA?” berganti suaramu setengah menuduh dan membentak.
IYA! Itu semua aku lakukan karena kau adalah
bayang-bayang yang sama sekali tak dapat kusentuh. Kau tak tau betapa aku
sangat menyayangimu, hingga aku tak mau merasakan sakit yang lebih dalam ketika
kau tak pernah berusaha untuk selalu berada di dekatku. Terlebih kau sedang
berusaha untuk melupakan mantanmu, dan tentu aku tidak mau menjadi pelampiasanmu.
Aku mundur sebelum berjalan ke depan.
“Kenapa
kamu diam?” suaramu menghentikan jeritan hatiku.
“Iya,
giliran aku jatuh hati beneran sama dia. Dia selalu ada waktu untukku, dia
sanggup untuk melindungiku kapanpun aku membutuhkan dia…” aku berusaha mengatur
napasku yang tersengal menahan tangis.
“Oh, gitu.”
Kau mengangguk. “Terserah kamu saja. Yang penting aku tidak ingin kamu
merasakan sakit hati dan kamu kembali mengajakku untuk bertemu lalu
menceritakan tentang hatimu yang disakitinya.”
Lama aku merenungi
kejadian ini hingga saat ini, saat tulisan ini akan aku publikasikan. Dan aku
sadar, alasan dibalik perubahanmu yang sangat drastis terhadapku. Kini, kita
tidak seperti dulu. Tidak seperti janjimu yang akan selalu melindungiku,
menjagaku, karena aku adalah malaikat kecilmu.
Kembali aku
memutar memori itu, kembali aku menitikkan air mata jika bercermin dengan
keadaan kita yang sekarang. Kau dan aku semakin menjauh. Tak lagi sama, tak
lagi bahagia seperti saat pertama kali kau mengikrarkan bahwa aku adalah sosok
yang pas menempati posisi adik terbaik. Aku, hanyalah seonggok daging yang
telah salah berharap untuk mengembalikan keadaan seperti dulu lagi.