Sabtu
siang yang biasanya membawa keceriaan bagi sebagian masyarakat di kota Medan,
tampaknya mengisahkan sesuatu yang berbeda. Hujan rintik - rintik disusul
dengan angin yang bertiup sangat kencang. Selesai try - out saya memilih untuk
bersantai sejenak di kelas. Menyalakan laptop sambil melanjutkan potongan kata
demi kata untuk novel saya, sambil memanfaatkan wi-fi kelas yang sedikit
menghibur saya membuka jejaring sosial.
Jam
dinding kelas menunjukkan pukul 2 siang. Tak satu pun teman yang berada di kelas.
Hanya saya, saya sendiri. Merasa mata terlalu jenuh menatap layar laptop, saya
pun berhenti untuk melanjutkan novel saya yang sudah memasuki bab yang ke V.
Menyusun semua barang - barang ke dalam ransel. Memastikan bahwa tak ada satu
pun yang tertinggal, saya melihat kembali ke sekeliling kelas dan berbalik. Lalu
meninggalkan kelas.
Sampai
di depan gerbang sekolah, saya bukannya langsung beranjak pulang. Melainkan
singgah sebentar membeli sedikit jajanan untuk dibawa pulang ke rumah. Seperti
ada sesuatu yang membisikkan kepada saya untuk membeli ‘pisang cokelat’. Ya,
saya membelinya semata - mata teringat dengan ibu dan adik yang sangat suka
jajanan itu. Selesai membeli, saya pun belum beranjak. Masih terduduk sendirian
di halte sekolah seperti anak kehilangan arah. Hanya sendirian. Sepertinya
menunggu rintik hujan berhenti hanyalah usaha sia - sia. Tampaknya hujan tak
akan reda. Melihat jam tangan sudah menunjukkan pukul setengah 3, saya pun
bergegas menyetop angkutan yang melewati arah rumah saya.
Sesampainya
di depan komplek, saya berpikir keras untuk menerobos hujan yang semakin deras
jadinya. Saya berteduh di sebuah ruko yang tak berpenghuni. Mengambil ponsel.
Sialnya saya kehabisan pulsa untuk menghubungi ibu agar menjemput saya sambil
membawakan payung. Gelisah melanda karena saya sudah mulai menggigil. Seperti
ada keterikatan bathin yang teramat kuat, ibu saya pun menghubungi saya.
“Bu…
Indi kehujanan. Takut nerobosnya soalnya deras nih.” Saya merengek agar
dijemput.
“Yaudah
tunggu aja ya, ntar Nia yang jemput. Tunggu aja disitu…” Ibu pun menutup
telepon.
Nia,
adik saya yang berusia 12 tahun. Selama hidup saya, saya kurang akrab dengan
Nia. Kesannya saya seperti kakak yang paling jahat sedunia. Belasan tahun dia
hidup bersama saya, tak pernah sekalipun saya berkelakuan baik kepadanya.
Paling juga kalau ada perlu. Tapi Nia tidak pernah ambil hati melihat sikap
saya terhadapnya. Paling dia hanya menggerutu, “percuma punya kakak kalo gak
bisa diandalkan.” ; “Kakak macam apasih kau?” ; “Aku gak mau diajarin sama
mbak, dia orangnya kasar” dan masih banyak lagi. Tapi setelah itu dia kembali
seperti sedia kala, seperti tidak terbebani memiliki seorang kakak seperti
saya.
20
menit saya menunggu di depan komplek, tapi Nia tak kunjung datang. Hingga saya melihat
sosoknya berjalan tertatih mengenakan payung sambil memegangi perutnya.
Jalannya sangat lambat, seperti menahan sakit. Saya langsung melambaikan
tangan, memberi kode agar dia berjalan lebih cepat. Tapi dia hanya meringis
kesakitan dan tetap memegangi perutnya. Akhirnya saya yang mendatanginya.
“Perutnya
kenapa? Masih sakit?” Saya bertanya sambil mengambil alih payung yang
digenggamnya.
“Sakit,
mbak… Mbak, jalannya pelan - pelan aja ya. Gabisa jalan cepat - cepat.” Nia
menggenggam lengan saya.
“Yaudah,
pegangan aja sama mbak.”
Kami
berdua jalan memasuki komplek dengan sangat tertatih. Kalau saja saya tidak
membawa ransel, dan Nia pun masih TK, mungkin saya akan menggendongnya. Jujur
saya tidak tega melihat Nia kesakitan seperti itu. Sekarang saya tahu kenapa
Nia sangat lama menjemput saya. Ternyata dia berjalan sambil berusaha menahan
sakitnya demi menjemput saya. Itu kali pertamanya momen yang paling menyentuh
selama ini. Nia rela berjalan menempuh hujan dengan kondisi perut yang tidak
tahu apa penyebabnya hingga membuatnya merasa sangat kesakitan.
Di
teras rumah, ibu sudah menunggu saya dengan pakaian layaknya orang mau pergi.
Saya mengerutkan kening. Nia pun terduduk di kursi yang berada di belakang
saya. Sontak saya pun terduduk karena merasa lelah. Dan kini kami bertiga sama
- sama duduk di kursi yang berbeda. Wajah ibu tampak sangat serius, dicampur
perasaan sedih lebih tepatnya.
“Ibu
mau ke mana?” Saya mencoba bertanya.
“Mau
bawa Nia ke rumah sakit.” Ibu menatap Nia. “Kayanya ada yang gak beres sama
perutnya. Harus diperiksa secepatnya, takut ada apa - apa yang bisa makin
tambah parah…” Ibu menghela napas, napas yang terasa sangat berat.
Saya
mengangguk - angguk. “Oh…” Panjang dengan ekspresi cemas. “Jam berapa pulang?”
“Ya
kalu bisa cepat, ya secepatnya.” Ibu beranjak dari duduknya. “Nanti kalau ayah
udah pulang, bilang jemput ibu sama Nia ke rumah sakit ya.”
Saya
mengangguk untuk kedua kalinya. “Hati - hati ya, bu.”
Mereka
pun pergi ketika taxi berhenti tepat di depan rumah.
Jam
menunjuk ke angka 7. Ya, sekarang jam 7 malam. Tak ada kabar dari ibu. Dan
ayahpun belum pulang. Lagi, saya sendirian di rumah. Hanya berkutat dengan
laptop yang sedari tadi menemani saya menghilangkan kejenuhan. Ponsel saya
berdering. Melihat nama di layar, Ayah. Ayah memberitahukan kepada saya bahwa
Nia harus diopname. Nia positif terkena usus buntu. Mendengar penjelasan ayah,
mulut saya ternganga tak tertutup. Dan akhirnya tertutup ketika ayah meminta
saya agar menjaga rumah yang sebenarnya rumah ini tidak akan lari ke mana -
mana.
*
Minggu
pagi setelah saya selesai berberes, saya langsung menuju ke rumah sakit tempat
Nia diopname. Tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya satu penghalang untuk menuju
ke sana, macet. Sepanjang jalan hanya wajah Nia yang melintas di pikiran saya.
Mendadak saya seperti seorang yang paling hancur mendengar Nia harus dioperasi.
Yang Nia sendiri sangat takut dengan alat - alat medis. Tak hentinya saya
berharap semoga tidak terjadi apa - apa dengan Nia.
Sesampainya
di rumah sakit, saya menuju ruangan melati VI lantai 3. Ruangan di mana Nia
diopname. Setelah mendapatkannya, saya melihat ibu yang sedang bercengkrama
dengan om saya. Ternyata sudah mulai ramai di kamar inap Nia. Sesekali ibu menyuapkan
bubur kepada Nia. Melihat kedatangan saya, Nia langsung duduk dari
pembaringannya. Seperti anak kecil yang mendapatkan petasan, Nia pun bersorak
“HOREEEE!!! MBAK DATAAANG!!!” Dia sangat bahagia melihat kedatangan saya.
Seketika saya ingin menangis. Saya pun mendekatinya.
“Gimana?”
Saya duduk di sebelah tempat tidurnya.
“Operasinya
besok, mbak. Mbak di sini kan?”
“Tergantung…”
Seakan tak ingin mengecewakan Nia. “Besok kan mbak pulang jam 5 sore. Kalo
operasinya sore ya pastilah mbak datang.”
“Siiip.
Ga datang juga gapapa kok.”
Tiba
- tiba mata saya tertuju kepada teman sekamarnya Nia, namanya Mika. Terlihat
segar - segar saja, tidak ada penyakit yang serius. Tapi ketika saya melihat ke
jarinya, ada sesuatu yang janggal. Jari telunjuk kanannya bengkok. Setelah ibu
menceritakan kepada saya, ternyata jarinya seperti itu karena digigit ulat
bulu. Bagaimana bisa ulat bulu menyebabkan jari Mika bengkok? Lalu untuk apa
dia di sini kalau hanya jarinya saja yang bengkok? Jawaban yang pertama saya
masih bisa menjawabnya sendiri. Mungkin, ketika digigit Mika tidak membersihkan
jarinya dengan antiseptic atau air hangat sekalipun. Hingga jarinya seperti
itu. Namun pertanyaan kedua, ibu yang menjawab. Kata orang tua Mika, dia sedang
kuliah di Akbid. Dan salah satu persyaratannya adalah tidak boleh cacat fisik,
makanya jari Mika harus dioperasi.
Saya
menatap Mika. Mika pun tersenyum ke saya. Saya mendekati Mika. “Kakak kuliah di
akbid?”
“Iya…”
Jawabnya sambil tersenyum.
Saya
mengangguk - angguk. “Terus, kakak kapan operasinya?”
“Sepertinya
besok. Sama seperti Nia.”
*
Hari
ini hari di mana Nia harus dioperasi. Seperti biasa, setiap hari Senin saya
pulang jam 5 sore. Bergegas saya langsung keluar kelas dan menuju parkiran. Dan
saya teringat bahwa hari ini saya tidak akan pulang bersama adik kelas yang
setiap hari mengantar saya. Saya pun beralih ke arah halte. Menunggu segelintir
angkutan umum yang berlalu-lalang di hadapan saya. Sejenak saya terpaku. Tidak
tahu harus menaiki angkutan nomer berapa untuk menuju Jalan Kapten Soemarsono.
Saya memutuskan menyetop becak.
Sesampainya
di rumah sakit saya berlari menaiki anak tangga yang lumayan curam. Saya tiba
di depan pintu kamar Nia. Tubuh saya bergetar menatap pintu yang tertutup
rapat. Tak kuasa menyentuh handle pintu. Entah kenapa. Tiba - tiba terdengar
langkah kaki yang tidak asing di telinga saya. Ayah.
“Kenapa
berdiam di sini? Ayo masuk. Adikmu sudah menunggu daritadi.”
Saya
menatap ayah. “Menunggu? Jadi dia belum…”
“Setengah
jam lagi.” Sambar ayah sembari mengajak saya masuk ke dalam.
Benar
saja. Di dalam malah semakin ramai. Ada nenek, bunda, dan teman - teman adik
saya tengah menjenguk. Saya meletakkan tas. Sedikit lega karena mengetahui
bahwa Nia belum dioperasi. Sambil melumerkan senyum ke sekeliling ruangan saya
menyapa Nia yang tengah terbaring menunggu giliran operasi.
Mata
saya pun langsung tertuju ke arah di mana terdengar suara rintihan karena
menahan sakit. Ya, Mika barusan selesai operasi jarinya yang bengkok. Saya
mencoba mendekat. Saya penasaran dengan jarinya. Dan memang sekarang jari Mika
sudah lurus. Tidak bengkok lagi. Bekas darah pun terlihat di sekeliling jempol
dan telapak tangannya. Hanya bercak saja. Ayah Mika bercengkrama dengan ayah
saya. Memberi tahu bahwa jari Mika telah dipasang pen. Satu yang tidak bisa
saya bayangkan, ketika saya berada di posisi Mika. Yang saya tahu, rasanya
pasti sangat sakit. Lebih sakit dibandingkan waktu paha saya dijahit karena
terkena paku.
~Sekian~