Hari
ini adalah hari kebebasanku. Ya, setelah 7 tahun lamanya aku mendekam di dalam
jeruji besi. Bau aroma tak sedap, dinginnya lantai penjara, dan liarnya manusia
yang ada di sana. Kini aku telah bebas. Bebas menghirup kebebasanku.
Aku
telah merasakan kejamnya hukum dunia atas perbuatan yang sebenarnya tidak
kulakukan. Walaupun aku sadar, aku memang manusia yang selalu merugikan orang. Terutama
keluargaku. Ratusan juta uang yang telah mereka keluarkan untuk menebusku dari
sel, tak mampu untuk membebaskanku saat itu. Entah apa kabar mereka.
Aku
bingung harus melangkah ke mana. Percuma saja aku kembali pulang, toh ternyata
rumah yang dulu pernah menjadi bagian hidupku sudah ditempati oleh orang yang
tidak kukenal. Lelah rasanya jika terus berfikir. Karena bukan tidak mungkin
mereka akan mengusirku. Ya Allah, ke mana kaki ini akan aku langkah kan?
7
tahun telah cukup menjadi cambuk yang teramat perih yang pernah kurasakan dalam
hidupku. Barang haram yang sama sekali tidak pernah kunikmati, mampu
menjerumuskanku ke dalam gelapnya sel tahanan. Ya aku juga paham, mungkin ini
hukuman karena sebagian dari hidupku telah kuhabiskan dengan tanganku yang “panjang”.
Tapi,
apakah mereka percaya bahwa aku ingin menjadi orang yang berguna? Tidak. Ku coba
untuk mendatangi salah satu saudara yang masih jelas kuingat di mana rumahnya. Jelas
saja, begitu mereka melihatku, seperti melihat buronan yang akan membinasakan
mereka. Ku elus dadaku sambil menahan perih dan air mata yang hendak menetes. Kupalingkan
wajahku ke belakang, kutatap langit yang seakan menertawakanku. Aku hanya bisa
mengatakan, “aku pantas mendapat perlakuan ini.” Sambil tersenyum getir.
Ke
mana aku harus mencari orang tuaku? Kakak-kakakku? Istri dan anak-anakku? Kaki k
uterus melangkah walaupun hampir patah rasanya puluhan kilometer telah kulalui
dengan berjalan kaki. Aku tidak memiliki uang sepeserpun untuk naik bis atau
angkutan umum. Aku mendatangi tetangg di dekat rumah yang sudah dijual itu.
Cerita-cerita
kelam semasa di tahanan kulontarkan. Pahit getirnya pil kehidupan rasanya ingin
kumuntahkan kembali. Kutatap wajah tua itu, “bapak tau di mana orang tuaku
sekarang tinggal?” dia menggeleng. Kulihat dia berdiri di depan pintu rumahnya,
“ayahmu sudah meninggal 4 tahun yang lalu.” Bak disambar petir, hatiku terasa
teriris. Mataku mulai panas. Ya Tuhan….. Aku tak tau harus berkata apa lagi. Sosok
itu telah tiada dan aku belum sempat melihatnya untuk terakhir kali. Air mataku
menetes. Kutundukkan wajahku, menyesali sesuatu. Bapak tua itu kembali ke tempat
duduknya, menepuk pundakku, “abangmu si Rahim juga ikut menyusul ayahmu setelah
40 hari kepergiannya.” Kali ini aku benar-benar tak kuasa menahan tangis. Lututku
terasa lemas. Kupeluk bapak tua itu. Tanpa berkata-kata aku langsung
meninggalkan rumahnya.
Aku
bergerak menuju sebuah warung yang pemiliknya juga aku kenal. Bu Yayu tersenyum
melihat kedatanganku, namun senyum yang tak bersahabat. Ku usahakan untuk
memperlihatkan wajah seramah mungkin. “Bu, saya minta selembar kertas, boleh?”
Bu Yayu mengiyakan permintaanku. Dengan segera ia kembali dengan selembar
kertas di tangannya. Ku ambil kertas itu. “pinjem pulpennya juga, bu…” kataku
sambil menahan lapar. Kakiku semakin bergetar, tak kuasa menopang tubuhku. Dengan
susah payah aku menuliskan sesuatu di sana.
“Ini aku, Agus Abdi si pecundang dan selalu
menyusahkan kalian. Aku gak bermaksud untuk mengusik kehidupan kalian atau
mengganggu ketentraman kalian. Aku juga gak meminta sepeser uang pun kepada
kalian. Aku hanya ingin minta maaf atas kelakuan burukku selama ini, atas
kesalahan-kesalahanku yang mungkin tak pantas untuk dimaafkan. Aku ingin
jalanku tenang dengan kata maaf dari kalian. Terutama Emak yang sudah
membesarkan aku dengan kasih sayangnya meskipun aku bukanlah darah dagingnya. Kepada
kak Heni, yang selalu menyayangiku seperti adik kandungnya sendiri, kepada bang
Indra yang selalu aku susahkan hidupnya. Kepada Ayah yang telah meninggalkan
kita, dan bang Rahim juga. Surat ini kutitipkan kepada Bu Yayu. Jikalah aku
harus menyusul Ayah dan bang Rahim, aku ingin jalanku dimudahkan… Terima kasih
atas budi baik kalian selama ini. Maafkan Aku…”
Dengan
tangan bergetar kuserahkan surat itu kepada Bu Yayu. Hingga aku kehilangan
kesadaran, dan kurasakan sesuatu yang keras membentur kepalaku…