Selasa, 11 Juni 2013

Aku Memang Pecundang, Maafkan Aku

Hari ini adalah hari kebebasanku. Ya, setelah 7 tahun lamanya aku mendekam di dalam jeruji besi. Bau aroma tak sedap, dinginnya lantai penjara, dan liarnya manusia yang ada di sana. Kini aku telah bebas. Bebas menghirup kebebasanku.
Aku telah merasakan kejamnya hukum dunia atas perbuatan yang sebenarnya tidak kulakukan. Walaupun aku sadar, aku memang manusia yang selalu merugikan orang. Terutama keluargaku. Ratusan juta uang yang telah mereka keluarkan untuk menebusku dari sel, tak mampu untuk membebaskanku saat itu. Entah apa kabar mereka.
Aku bingung harus melangkah ke mana. Percuma saja aku kembali pulang, toh ternyata rumah yang dulu pernah menjadi bagian hidupku sudah ditempati oleh orang yang tidak kukenal. Lelah rasanya jika terus berfikir. Karena bukan tidak mungkin mereka akan mengusirku. Ya Allah, ke mana kaki ini akan aku langkah kan?
7 tahun telah cukup menjadi cambuk yang teramat perih yang pernah kurasakan dalam hidupku. Barang haram yang sama sekali tidak pernah kunikmati, mampu menjerumuskanku ke dalam gelapnya sel tahanan. Ya aku juga paham, mungkin ini hukuman karena sebagian dari hidupku telah kuhabiskan dengan tanganku yang “panjang”.
Tapi, apakah mereka percaya bahwa aku ingin menjadi orang yang berguna? Tidak. Ku coba untuk mendatangi salah satu saudara yang masih jelas kuingat di mana rumahnya. Jelas saja, begitu mereka melihatku, seperti melihat buronan yang akan membinasakan mereka. Ku elus dadaku sambil menahan perih dan air mata yang hendak menetes. Kupalingkan wajahku ke belakang, kutatap langit yang seakan menertawakanku. Aku hanya bisa mengatakan, “aku pantas mendapat perlakuan ini.” Sambil tersenyum getir.
Ke mana aku harus mencari orang tuaku? Kakak-kakakku? Istri dan anak-anakku? Kaki k uterus melangkah walaupun hampir patah rasanya puluhan kilometer telah kulalui dengan berjalan kaki. Aku tidak memiliki uang sepeserpun untuk naik bis atau angkutan umum. Aku mendatangi tetangg di dekat rumah yang sudah dijual itu.
Cerita-cerita kelam semasa di tahanan kulontarkan. Pahit getirnya pil kehidupan rasanya ingin kumuntahkan kembali. Kutatap wajah tua itu, “bapak tau di mana orang tuaku sekarang tinggal?” dia menggeleng. Kulihat dia berdiri di depan pintu rumahnya, “ayahmu sudah meninggal 4 tahun yang lalu.” Bak disambar petir, hatiku terasa teriris. Mataku mulai panas. Ya Tuhan….. Aku tak tau harus berkata apa lagi. Sosok itu telah tiada dan aku belum sempat melihatnya untuk terakhir kali. Air mataku menetes. Kutundukkan wajahku, menyesali sesuatu. Bapak tua itu kembali ke tempat duduknya, menepuk pundakku, “abangmu si Rahim juga ikut menyusul ayahmu setelah 40 hari kepergiannya.” Kali ini aku benar-benar tak kuasa menahan tangis. Lututku terasa lemas. Kupeluk bapak tua itu. Tanpa berkata-kata aku langsung meninggalkan rumahnya.
Aku bergerak menuju sebuah warung yang pemiliknya juga aku kenal. Bu Yayu tersenyum melihat kedatanganku, namun senyum yang tak bersahabat. Ku usahakan untuk memperlihatkan wajah seramah mungkin. “Bu, saya minta selembar kertas, boleh?” Bu Yayu mengiyakan permintaanku. Dengan segera ia kembali dengan selembar kertas di tangannya. Ku ambil kertas itu. “pinjem pulpennya juga, bu…” kataku sambil menahan lapar. Kakiku semakin bergetar, tak kuasa menopang tubuhku. Dengan susah payah aku menuliskan sesuatu di sana.
Ini aku, Agus Abdi si pecundang dan selalu menyusahkan kalian. Aku gak bermaksud untuk mengusik kehidupan kalian atau mengganggu ketentraman kalian. Aku juga gak meminta sepeser uang pun kepada kalian. Aku hanya ingin minta maaf atas kelakuan burukku selama ini, atas kesalahan-kesalahanku yang mungkin tak pantas untuk dimaafkan. Aku ingin jalanku tenang dengan kata maaf dari kalian. Terutama Emak yang sudah membesarkan aku dengan kasih sayangnya meskipun aku bukanlah darah dagingnya. Kepada kak Heni, yang selalu menyayangiku seperti adik kandungnya sendiri, kepada bang Indra yang selalu aku susahkan hidupnya. Kepada Ayah yang telah meninggalkan kita, dan bang Rahim juga. Surat ini kutitipkan kepada Bu Yayu. Jikalah aku harus menyusul Ayah dan bang Rahim, aku ingin jalanku dimudahkan… Terima kasih atas budi baik kalian selama ini. Maafkan Aku…
Dengan tangan bergetar kuserahkan surat itu kepada Bu Yayu. Hingga aku kehilangan kesadaran, dan kurasakan sesuatu yang keras membentur kepalaku…



narasumber: Agus Abdi~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar