“Tidak semua ibu memiliki anak, tapi semua anak pastilah memiliki
seorang ibu.” Aku. Ya, begitupun aku. Memiliki seorang ibu, namun takdir di
kemudian hari tidaklah kuketahui akankah kumiliki sosok seorang anak yang kelak
memanggilku dengan sebutan “ibu”?
Sembilan bulan aku hidup di dalam rahimmu. Kau jaga aku, agar aku sampai
pada saat yang kau nantikan. Hingga detik ini aku masih tetap bernapas,
berbicara, dan mengutarakan semua ini di usiaku yang lebih dari sepertiga
usiamu.
Tak terasa jutaan langkah telah kulalui, bu. Itu semua tidak lain dan
tidak bukan berkat pengorbananmu. Jikalau saja kau tak pernah mengajarkanku
berjalan walau tertatih aku tidak akan sampai pada langkah di detik ini.
Tidak semua perbuatanku mampu menyenangkan hatimu. Kadang aku terlalu
dini untuk memahami perasaan khawatirmu menjaga titipan dari Tuhan ini. Aku
terlalu dini untuk membayangkan kelak aku berada di posisimu yang kerap kali
kukecewakan bahkan membuatmua terus-terusan mengelus dada. Aku juga terlalu
dini untuk memikirkan tanggung jawab seorang ibu yang bekerja, memasak
membimbing, menyekolahkan, dan tentunya menghidupiku yang hampir setiap hari
membuatmu kesal.
Kau tidak pernah menuntut diberi intan permata guna membalas seluruh
jasa. Kau tidak pernah mengungkit isi dunia yang kau kenalkan melalui
kata-kata. Kau lebih dari mampu untuk menjadi sosok yang berharga dan terus
memastikan aku tetap bahagia.
Pernah kumencicipi getirnya mencari selembar uang dengan butiran
keringat. “Pikirkan kesehatanmu”, adalah nasehat yang akan selalu kuingat.
Kusisihkan rupiah-demi-rupiah demi membahagiakan raga yang selalu menjalani
hidup dengan semangat. Sadarku tak mampu membalas semua itu dengan cepat.
Ada beberapa bagian dari uang milikku yang telah kutekadkan untuk
membeli sesuatu. Apa itu? Entahlah. Aku tidak tahu benda apa yang tak kau
miliki. Jikalau ada yang belum terpenuhi, pun aku sadar akan nominal uang
digenggamanku. Kuputuskan untuk membeli sepasang sepatu untukmu, bu. Meski aku
tahu, sepatu-sepatu yang kau miliki jauh lebih mahal dari yang akan kuberi
untukmu. Apalah arti sepatu ini, terlalu sederhana mungkin.
Di rumah, kuberikan sepatu itu untukmu, bu. Dan seperti biasa kau selalu
mengeluhkan perihal keborosanku. Tidak. Ini tidak mahal dan aku tidak akan
pernah mendekati keborosan dalam hidupku. Aku selalu berpegang teguh pada
sikapmu yang selalu menjadi pribadi sederhana dan hemat. Aku tak menghiraukan
omelanmu.
Kupinta kau untuk memakai sepatu yang tak seberapa dibanding dengan
koleksi yang kau miliki. Dan ternyata. . .ukurannya sesuai dengan kakimu. Aku
terlalu terharu hingga aku menitikkan air mata dibalik sebuah senyuman.
Ibu. . .kalaupun aku punya uang banyak, aku akan tetap menyisihkan
sebagiannya untukmu. Dan pilihanku juga tetap sama, aku akan membelikan sepatu
yang setidaknya lebih bagus dari yang sebelumnya. Kenapa? Satu hal yang harus
ketahui mengenai alasanku.
Aku tidak ingin surgaku terlihat lecet akibat dari
suatu goresan. Apapun itu. . .
Maka dari itu, kuberikan ia sepatu untuk melindungi
surga indahku, IBU J
hanay sekedar silaturahmi antar blogger,
BalasHapusditunggu kunjungan balik na sis,
http://adeputrasuma.blogspot.com/