Selasa, 03 Maret 2015

Seonggok Daging



Sore itu, aku tidak sabar menunggu mata kuliah ditutup. Karena ada orang yang telah berjanji untuk menemuiku, kamu.
Seusai perkuliahan, aku bergegas keluar kelas dan menuruni anak tangga. Kudapati kamu sedang berjalan menuju tempat yang kita janjikan. Kupanggil namamu, dan kau pun menoleh ke belakang sambil melambaikan tangan.
Aku berlari kecil menghampirimu yang tampaknya baik-baik saja, tidak seperti aku yang berada pada titik kebimbangan atas perasaanku terhadapmu dan perasaanku untuknya.
“Kita mau ke mana?” tanya mu dengan suara khas yang selalu menggetarkan rongga hati ini, memulai pembicaraan.
“Bebas…” jawabku dengan senyum pahit bercampurkan getaran bersalah.
Lalu kita memilih tempat yang pernah kita kunjungi.
Kamu duduk tepat dihadapanku, kesalahan yang sampai detik ini tak bisa kumaafkan. Karena aku tak kuasa menyembunyikan besarnya gelombang cinta yang kerap kali terpancar di wajahku ketika kau tersenyum.
“Kamu apa kabar? Sudah lama kita tidak seperti ini, sepertinya kamu sibuk.” Kamu mendekatkan wajahmu ke depan.
Aku…. Hanya bisa mencari-cari alasan yang tepat, menerawang ke langit-langit cafĂ© untuk menjawab pertanyaan sederhana itu, “aku baik. Bukannya selama ini kamu yang tidak pernah ada waktu untukku?”
“Aku….”
“Kamu terlalu sibuk dengan organisasi mu yang baru itu, kan?”
“Itu semua demi melupakan mantanku…”
Aku bahkan sudah bisa menebak jawaban apa yang akan kau muntahkan. Aku menarik napas panjang untuk memulai semuanya, memulai cerita yang belum saja kumulai, namun berakhir di saat itu juga, “aku mau cerita banyak ke kamu, ini soal…”
“….. jangan bilang ini tentang laki-laki. Laki-laki mana lagi yang singgah di hidupmu, lalu pergi tanpa pamit?”
“Hmm sebenarnya…”
“––– sebenarnya aku malas untuk membahas soal perasaan lagi. Aku capek dengan semua aturan-aturan saat menjalin hubungan. Aku muak dengan ketidak-bebasan bersosial ketika berpacaran. Aku capek terlalu dikekang sama pacarku.”
“AKU BELUM SELESAI NGOMONG!” medadak nada bicaraku meninggi.
“Maaf…”
Kuteguk chocolate hangat yang sedari tadi tak kusentuh, berusaha mencari kekuatan untuk melanjutkan. “Aku sedang dekat dengan seorang cowo. Tapi dia lebih muda dari aku. Awalnya aku cuma iseng dekatin dia, tapi makin lama makin ke sini aku malah…”
“KAMU YANG JATUH HATI SAMA DIA?” berganti suaramu setengah menuduh dan membentak.
IYA! Itu semua aku lakukan karena kau adalah bayang-bayang yang sama sekali tak dapat kusentuh. Kau tak tau betapa aku sangat menyayangimu, hingga aku tak mau merasakan sakit yang lebih dalam ketika kau tak pernah berusaha untuk selalu berada di dekatku. Terlebih kau sedang berusaha untuk melupakan mantanmu, dan tentu aku tidak mau menjadi pelampiasanmu. Aku mundur sebelum berjalan ke depan.
“Kenapa kamu diam?” suaramu menghentikan jeritan hatiku.
“Iya, giliran aku jatuh hati beneran sama dia. Dia selalu ada waktu untukku, dia sanggup untuk melindungiku kapanpun aku membutuhkan dia…” aku berusaha mengatur napasku yang tersengal menahan tangis.
“Oh, gitu.” Kau mengangguk. “Terserah kamu saja. Yang penting aku tidak ingin kamu merasakan sakit hati dan kamu kembali mengajakku untuk bertemu lalu menceritakan tentang hatimu yang disakitinya.”
Lama aku  merenungi kejadian ini hingga saat ini, saat tulisan ini akan aku publikasikan. Dan aku sadar, alasan dibalik perubahanmu yang sangat drastis terhadapku. Kini, kita tidak seperti dulu. Tidak seperti janjimu yang akan selalu melindungiku, menjagaku, karena aku adalah malaikat kecilmu.
Kembali aku memutar memori itu, kembali aku menitikkan air mata jika bercermin dengan keadaan kita yang sekarang. Kau dan aku semakin menjauh. Tak lagi sama, tak lagi bahagia seperti saat pertama kali kau mengikrarkan bahwa aku adalah sosok yang pas menempati posisi adik terbaik. Aku, hanyalah seonggok daging yang telah salah berharap untuk mengembalikan keadaan seperti dulu lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar